KASUS LIPPO BANK
I.
SEJARAH
BERDIRINYA BANK LIPPO
Sejarah
Grup Lippo bermula ketika Mochtar Riady yang memiliki nama Tionghoa,
Lie Mo Tie membeli sebagian saham di Bank Perniagaan
Indonesia milik Haji Hasyim Ning pada1981.
Waktu dibeli, aset bank milik keluarga Hasyim telah merosot menjadi hanya
sekitar Rp 16,3 miliar. Mochtar sendiri pada waktu itu tengah menduduki posisi
penting di Bank Central Asia, bank yang didirikan
oleh keluarga Liem Sioe Liong. Ia bergabung dengan
BCA pada 1975 dengan
meninggalkan Bank Panin.
Di
BCA, Mochtar mendapatkan share sebesar 17,5 persen saham dan menjadi orang
kepercayaan Liem Sioe Liong. Aset BCA ketika Mochtar Riady bergabung hanya Rp
12,8 miliar. Mochtar baru keluar dari BCA pada akhir 1990 dan
ketika itu aset bank tersebut sudah di atas Rp5 triliun.
Bergabung
dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia bergabung,
aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500 persen menjadi
Rp257,73 miliar. Hal ini membuat kagum kalangan perbankan nasional. Ia pun
dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing.
Dua
tahun kemudian, pada 1989,
bank ini melakukan merger dengan Bank Umum Asia dan
semenjak saat itu lahirlah Lippobank.
Inilah cikal bakal Grup Lippo.
II.
KONTROVERSI
BANK LIPPO
A.
Skandal Laporan Keuangan Ganda Bank
Lippo
Kasus
PT. Bank Lippo Tbk ini berawal dari laporan keuangan Triwulan III tahun 2002
yang dikeluarkan tanggal 30 September 2002 oleh PT. Bank Lippo Tbk, yaitu
terjadi perbedaan informasi atas Laporan Keuangan yang disampaikan ke public
melalui iklan di sebuah surat kabar nasional pada tanggal 28 November 2002
dengan Laporan Keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Dalam
laporan tersebut dimuat adanya pernyataan manajemen PT. Bank Lippo Tbk bahwa
Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang
telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko, Sandjaja (penanggung jawab Drs.
Ruchjat Kosasih) dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian.
Penyajian
laporan tersebut dibuat dalam bentuk komparasi per 30 September 2002 (audited)
dan per 30 september 2001 (unaudited). Dicantumkan, Nilai Agunan Yang Diambil
Alih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 2,393 triliun, total aktiva per
30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, Laba tahun berjalan per 30
September 2002 sebesar Rp. 98,77 miliar, dan Rasio Kewajiban Modal Minimum Yang
Tersedia (CAR) sebesar 24,77%.
Pada
Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 –tanggal yang sama-
yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002,
ternyata disampaikan laporan yang berbeda. Laporan itu mencantumkan Pernyataan
manajemen PT. Bank Lippo Tbk bahwa Laporan Keuangan yang disampaikan adalah
Laporan Keuangan “audited” yang tidak disertai dengan laporan auditor
independen yang berisi opini Akuntan Publik.
Penyajian
laporan juga dilakukan dalam bentuk komparasi per 30 September 2002 (audited)
dan 30 September 2001 (unaudited). Dicantumkan Nilai Agunan Yang Diambil Alih
Bersih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun, total aktiva
per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, Rugi bersih per 30 September
2002 sebesar Rp. 1,273 triliun, dan Rasio Kecukupan Modal Minimum (CAR) sebesar
4,23%.
Dapat
dilihat, bahwa pada tanggal yang sama ditemukan perbedaan. Perbedaan tersebut
baik dalam jumlah AYDA, total aktiva, CAR, bahkan kondisi untung rugi. Atas hal
tersebut, Pada tanggal 6 Januari 2003, Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko
& Sandjaja menyampaikan Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30
September 2002 kepada manajemen PT. Bank Lippo.
Dalam
laporan tersebut dikemukakan bahwa Laporan Auditor independen yang berisi opini
Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih dari KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja
dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Laporan Auditor independen tersebut
tertanggal 20 November 2002, kecuali untuk catatan 40a tertanggal 22 November
2002 dan catatan 40c tertanggal 16 Desember 2002.
Penyajian
dalam bentuk komparasi per 30 September 2002, 31 Desember 2001 dan 31 Desember
2000. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, Nilai Agunan
Yang Diambil Alih Bersih (AYDA) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun,
Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 triliun, Rasio Kecukupan
Modal sebesar Rp. 4,23%.
B.
Saham
Pada periode yang sama sejumlah broker
melakukan transaksi jual dalam jumlah sangat besar. Ironisnya, pada 14 Februari
broker yang sama berbalik melakukan transaksi beli dalam volume signifikan.
Praktik semacam itu menguatkan dugaan memang terjadi manipulasi laporan
keuangan serta insider trading.
Dengan tujuan, manajemen (khususnya pemilik lama) bisa masuk dan menguasai
saham mayoritas bank itu.
Banyak yang menduga skenario yang mereka
inginkan adalah pihak manajemen ingin menawar saham terbatas (rights issue).
Lewat cara itu pemegang saham mayoritas saat ini, yaitu pemerintah, mau tidak
mau harus mengeluarkan banyak uang. Karena jika tidak dilakukan, kepemilikan
sahamnya terdilusi. Ringkas kata, pemilik lama menginginkan pemerintah
merekapitalisasi tahap kedua terhadap bank itu.
C.
Bank Lippo Menyokong Dana Kampanye Bill Clinton
Hubungan erat antara grup
Lippo dengan Partai Demokrat AS bermula dari tahun 1976 James Riady, anak
Mochtar Riady si bos Lippo, berangkat ke New York untuk bekerja di Irving Trust
Banking Company di tahun 1975. Tak lama, James Riady pindah ke Little Rock,
Arkansas (kota kelahiran Bill Clinton) di tahun 1976.
Di Arkansas, James Riady bersama Jack Steven
mendirikan Worthen Bank dengan modal awal US$ 20 juta. Jack Steven, yang
disebut-sebut sebagai Godfathernya Arkansas ini adalah rekan dekat Mochtar
Riady. Melalui Jack Steven inilah, James Riady bisa kenalan dengan Jimmy
Carter, Bill Clinton dan sebagainya.
Pada tahun 1984, James Riady ditunjuk Jack Steven
menjadi Direktur Utama Worthen Bank. James Riady pun lalu menunjuk Hillary
Clinton sebagai pengacara Worthen Bank. Disinilah hubungan James Riady dengan
pasutri Clinton merapat
Pada tahun 1990an, Bill Clinton menyatakan kepada
James Riady kalau ia berencana maju ke pemilu presiden AS. James Riady pun
memberitakan kabar tersebut kepada ayahnya, Mochtar Riady. Mochtar Riady pun
langsung memerintahkan James Riady partisipasi aktif dalam kampanye Bill
Clinton. Tak cuma James Riady, seluruh anggota dan jaringan yang dimiliki Lippo
Group pun dikerahkan untuk membantu kampanye Bill Clinton
Bentuk sokongan James
Riady dan Ted Sioeng pada Bill Clinton – Al Gore adalah pengumpulan dana
kampanye. Fokus dari tim pengumpulan dana kampanye Clinton – Al Gore yang
ditangani James Riady dan Ted Sioeng adalah dari pengusaha-pengusaha Asia.
jumlahnya dana yang dikumpulkan James Riady – Ted Sioeng untuk Clinton – Al
Gore mencapai US$ 7,5 juta.
Secara pribadi dan
perusahaan, keluarga Riady dan Lippo Group mendapat jaringan dan keleluasaan
berbisnis di AS . Indonesia pun mendapat ‘Keringanan bea impor’ ke AS pada masa
Bill Clinton. Karena para pengusaha Tionghoa di Indonesia ikut menyetor dana ke
Clinton, maka mereka melobi kemudahan perdagangan, Tak cuma Indonesia, RRC pun
ikutan memperoleh kemudahan impor produk-produk RRC ke AS semasa Clinton.
Hasil kerja #LippoGate
inilah yang menjadi salah satu pemicu kenapa para pengusaha Tionghoa Indonesia
mulai eksodus ke pasar global. Sejak tahun 1994, satu per satu para pengusaha
besar memindahkan markas besar usahanya ke luar negeri. Indonesia hanya menjadi
tempat beroperasinya alat-alat produksi, tapi hasil, uang dan keuntungannya
semua dibawa ke Singapura dan Hong Kong. Dampak migrasi dana-dana para
pengusaha ini bagi Indonesia?? Rupiah mengalami pelemahan berturut-turut dan
menjadi salah satu pemicu krisis moneter Asia.
Ketika skandal sumbangan Lippo Grup utk kampanye
Clinton tsb terbongkar, Partai Demokrat terpaksa kembalikan hampir US$ 500
ribu. Sementara itu, Muchtar dan James Riady /Lippo Grup dinyatakan bersalah
oleh pengadilan AS atas pelanggaran UU dana kampanye AS karena terbukti
melanggar hukum terkait pemberian sumbangan dana kampanye Capres PD, Bill
Clinton. Keluarga Riady /Lippo Grup dihukum membayar denda US$ 8.6 juta atau
Rp. 86 milyar atas pelanggaran tersebut.
III.
PELANGGARAN HUKUM OLEH BANK LIPPO
Di
dalam kasus PT. Lippo Bank Tbk tersebut mengandung 3 (tiga) unsur dari pasal 93
Undang-Undang Pasar Modal. Pertama, tindakan tersebut mempengaruhi harga Efek
di Bursa Efek.
Dari
fakta menunjukan bahwa tindakan PT. Bank Lippo Tbk dengan memberikan informasi
yang menyesatkan pada laporan keuangan per 30 September 2002 telah menimbulkan ketidakpastian
di masyarakat sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa. Saham PT. Lippo Bank
Tbk pun mengalami fluktuasi yang tajam disebabkan oleh missleading information
tersebut.
Terlihat
bahwa akibat laporan keuangan yang diterbitkan tersebut menggerakkan harga.
Bahkan, tidak semata-mata berdampak pada saham PT Bank Lippo, tbk semata,
tetapi juga bursa efek secara keseluruhan.
Kedua,
setiap Pihak dilarang dengan cara apapun, membuat pernyataan atau memberikan
keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan. Dalam kasus
tersebut ditemukan fakta sebagai berikut bahwa dalam Laporan Keuangan per 30
September 2002 yang diiklankan di media massa pada tanggal 28 November 2002,
Manajemen PT. Bank Lippo Tbk menyatakan bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun
berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetyo,
Sarwoko dan Sandjaja dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Akan
tetapi, Hasil pemeriksaan Bapepam menunjukan bahwa laporan keuangan PT. Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002
adalah laporan keuangan yang tidak diaudit meskipun angka-angkanya sama seperti
yang tercantum dalam Laporan Auditor Independen. Hal ini menunjukan bahwa
pernyataan atau keterangan yang diberikan oleh pihak manajemen PT. Bank Lippo
Tbk dalam laporan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan.
Ketiga,
pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan
atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan atau
tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan
atau keterangan tersebut.
Pencantuman
kata “audited” pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002
membawa implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat baik
namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya. Laporan keuangan yang
disampaikan ke publik tanggal 28 November 2002 mencatat total aktiva per 30
September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp.
98,77 miliar dan CAR sebesar 24,77%.
Sekilas
dengan membaca laporan ini, Investor melihat bahwa kinerja perusahaan berjalan
dengan bagus. Dengan demikian keputusan-keputusan yang diambil investor akan
menguntungkan perusahaan misalnya Investor melakukan pembelian saham Lippo
secara besar-besaran.
Hal
ini tentunya merugikan Investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka
keputusan yang diambilnya juga tidak tepat. Keadaan yang sebenarnya adalah
sebagaimana Laporan Keuangan per 30 September yang disampaikan ke BEJ tanggal
27 Desember 2002 yang sudah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja
dimana total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, rugi bersih
sebesar Rp. 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23%.
IV.
PENJELASAN
DARI PIHAK BANK LIPPO
Dari
fakta yang telah diuraikan sebelumnya, PT. Bank Lippo Tbk telah dua kali
memberikan penjelasan dan pemaparan kepada publik berkaitan dengan adanya
perbedaan dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang
disampaikannya.
Pertama,
dalam pengumuman penjelasan di Harian Investor tanggal 17 Januari 2003. PT Bank
Lippo Tbk menegaskan bahwa Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September
2002 adalah informasi yang akurat dan benar serta mencerminkan kinerja Bank
Lippo yang sesungguhnya yakni CAR 24,77% dan NPL 9,03%.
Kedua,
dalam paparan publik di Hotel Aryaduta Jakarta tanggal 11 Februari 2003.
Manajemen PT. Bank Lippo Tbk kembali menegaskan bahwa angka-angka yang
disajikan dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang telah
dipublikasikan ke media massa pada 28 November 2002 dalam rangka memenuhi
peraturan BI adalah angka-angka yang akurat dan benar serta telah disajikan
sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI).
Sementara
itu dilain pihak, Auditor dari laporan keuangan Bank Lippo per 30 September
2002 yakni Ernst & Young and Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja) dalam
penjelasan tertulisnya kepada Bapepam menyatakan bahwa mengaudit satu laporan.
Laporan keuangan itulah yang disampaikan kepada BEJ tanggal 27 Desember 2002.
Dijelaskan bahwa dalam laporan keuangan hasil audit Ernst & Young and
Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja) berbeda dengan laporan konsolidasi
yang dipublikasikan.
Laporan
keuangan yang dipublikasikan tanggal 28 November 2002 menyebutkan aktiva Bank
Lippo sebesar Rp. 24 triliun dan laba bersih sebesar Rp. 28 miliar. Padahal
menurut laporan yang diaudit oleh tim audit dari Ernst & Young and Partner
(Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja) sebagaimana dilaporkan kepada BEJ tanggal 27
Desember 2002 menyebutkan aktiva Rp. 22,8 triliun dan rugi bersih Rp. 1,3
triliun. Dengan demikian terdapat ketidakcocokan antara keterangan yang
diberikan oleh pihak manajemen dengan pihak auditornya.
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk
tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan
atau keterangannya dalam laporan keuangan per 30 September 2002 yang
disampaikan ke publik tanggal 28 November 2002. Pihak manajemen dalam mempublikasikan
laporan keuangan tersebut terbukti tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan
pihak auditor Ernst & Young and Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja).
Oleh
karena ketiga unsur dalam pasal 93 Undang-undang Pasar Modal telah terpenuhi
maka tindakan pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk dalam memberikan keterangan
atau informasi laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke
publik merupakan suatu tindakan penyesatan informasi publik (misleading
information). Dengan demikian, memang benar telah terdapat pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh PT. Bank Lippo, Tbk.
V.
PUTUSAN ATAS KASUS LAPORAN GANDA BANK LIPPO
Sanksi
BEJ atas Bank Lippo adalah berupa peringatan keras, selain itu BEJ mewajibkan
Bank Lippo menyerahkan laporan kemajuan (progress report) setiap minggu sekali
mulai 24 Februari sampai keluarnya laporan keuangan auditan tahun 2002.
Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun memberikan sanksi. Dalam siaran persnya
tanggal 17 Maret 2003 mengumumkan pemberian sanksi administratif kepada Direksi
PT. Bank Lippo Tbk berupa kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sejumlah Rp.
2,5 miliar. Sedangkan terhadap PT. Bank Lippo Tbk diwajibkan untuk memberikan
penjelasan kepada pemegang saham perihal kekurang hati-hatian yang telah
dilakukan serta sanksi administratif yang diterima oleh PT. Bank Lippo Tbk
dalam Rapat Umum Pemegang Saham berikutnya.
Pihak
yang bertanggung jawab dalam pelanggaran ini adalah Akuntan Publik Drs. Ruchjat
Kosasih dari KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja sebagai penanggung jawab
pemeriksaan atau audit atas laporan keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30
September 2002. Atas kelalaian yang dilakukannya Bapepam menjatuhkan sanksi
administratif berupa kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sebesar Rp. 3,5
juta.
VI.
KESIMPULAN
Jadi dari penjelasan diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Bank Lippo Tbk. terbukti melakukan pelanggaran hukum
atas Pasal 93 Undang Undang Pasar Modal. Pelanggaran hukum ini terjadi karena sistem
yang ada dalam soal laporan keuangan memang cukup rumit. Kerumitan ini rentan
menghadirkan kelalaian dari pihak pelaku pasar modal.
Dan dalam hal pengenaan
sanksi, sanksi nya tidak tepat karena sanksi yang dikenakan (hanya bersifat
administratif) tidak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 93 Undang-Undang
Pasar Modal yang sangat jelas mencederai asas kepastian hukum dan menyebabkan
ketidakpastian hukum.